Pemerintah Indonesia optimistis
bakal memenangi arbitrase internasional kasus PT Newmont Nusa Tenggara (NNT)
yang sidang perdananya dijadwalkan berlangsung di Jakarta. Namun, pemerintah RI
terancam untuk membayar kewajiban senilai US$ 2,5 miliar atau sekitar Rp 29
triliun.Besaran kewajiban tersebut terdiri atas segala biaya yang dikeluarkan
NNT berdasarkan nilai buku dan beban atas 7.000 karyawan perusahaan tambang
yang mayoritas sahamnya dikuasai Sumitomo Corp dan Newmont Corporation Ltd
tersebut. Selain itu, pemerintah pun harus menyelesaikan kewajiban NNT terhadap
pembeli yang terkontrak, pemasok, dan kreditor. Kemungkinan pemerintah bakal
rugi bila memenangi arbitrase melawan NNT ini pun secara eksplisit tampak dalam
perjanjian kontrak karya (KK) yang diteken pemerintah RI dan NNT. Pasal 22
butir (5) KK yang diteken NNT dan pemerintah RI pada 2 Desember 1986
menyatakan; apabila pengakhiran (terminasi) terjadi selama periode operasi atau
sebagian akibat habisnya jangka waktu persetujuan ini, semua harta kekayaan
perusahaan, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, yang berada di dalam
wilayah KK harus ditawarkan untuk dijual kepada pemerintah dengan harga yang
besarnya sama dengan ongkos perolehan atau menurut harga pasar, mana yang lebih
rendah, tetapi bagaimana pun tidak akan lebih rendah dari nilai buku.
Dirjen Mineral, Batubara, dan
Panas Bumi (Minerbapabum) Departemen ESDM Bambang Setiawan mengatakan, bila
pemerintah Indonesia memenangi gugatan, pihaknya tidak mempersoalkan sekiranya
harus memenuhi kewajiban yang diputuskan dalam arbitrase.
“Kalau memang itu diatur dalam KK, ya harus dipenuhi. Namun, tidak serta merta pemerintah yang membelinya, mungkin melalui BUMN sektor pertambangan, seperti PT Aneka Tambang Tbk atau PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA) Tbk,” ujar Bambang kepada Investor Daily di Jakarta, akhir pekan lalu. Kendati begitu, Bambang berpendapat, nilai aset buku PT NNT saat ini harus dibuktikan terlebih dahulu oleh sebuah lembaga audit independen. “Tidak bisa asal disebut saja,” ujarnya.
Pasal 24 ayat 33 KK antara pemerintah RI dan NNT menyatakan; pemegang saham asing NNT diwajibkan menawarkan saham NNT sehingga pada 2010 minimal 51% saham NNT akan beralih ke pemerintah Indonesia atau peserta Indonesia lainnya. Saat ini, 80% saham NNT yang mengeksploitasi tambang tembaga dan emas di Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) dikuasai Nusa Tenggara Partnership (Newmont 45% dan Sumitomo 35%). Sisa 20% saham dimiliki PT Pukuafu Indah. Pada 2006, NNT menawarkan 3% senilai US$ 109 juta saham kepada mitra Indonesia dan masing-masing 7% pada 2007 senilai US$ 282 juta dan 2008 sebesar US$ 426 juta. Dua tahun lalu, NNT menawarkan saham kepada pemerintah daerah. Pemkab Sumbawa dan Pemprov NTB memperoleh 2%, sedangkan Pemkab Sumbawa Barat 3%.
“Kalau memang itu diatur dalam KK, ya harus dipenuhi. Namun, tidak serta merta pemerintah yang membelinya, mungkin melalui BUMN sektor pertambangan, seperti PT Aneka Tambang Tbk atau PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA) Tbk,” ujar Bambang kepada Investor Daily di Jakarta, akhir pekan lalu. Kendati begitu, Bambang berpendapat, nilai aset buku PT NNT saat ini harus dibuktikan terlebih dahulu oleh sebuah lembaga audit independen. “Tidak bisa asal disebut saja,” ujarnya.
Pasal 24 ayat 33 KK antara pemerintah RI dan NNT menyatakan; pemegang saham asing NNT diwajibkan menawarkan saham NNT sehingga pada 2010 minimal 51% saham NNT akan beralih ke pemerintah Indonesia atau peserta Indonesia lainnya. Saat ini, 80% saham NNT yang mengeksploitasi tambang tembaga dan emas di Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) dikuasai Nusa Tenggara Partnership (Newmont 45% dan Sumitomo 35%). Sisa 20% saham dimiliki PT Pukuafu Indah. Pada 2006, NNT menawarkan 3% senilai US$ 109 juta saham kepada mitra Indonesia dan masing-masing 7% pada 2007 senilai US$ 282 juta dan 2008 sebesar US$ 426 juta. Dua tahun lalu, NNT menawarkan saham kepada pemerintah daerah. Pemkab Sumbawa dan Pemprov NTB memperoleh 2%, sedangkan Pemkab Sumbawa Barat 3%.
Dalam proses penawaran saham
mencuat perbedaan penafsiran terhadap KK khususnya pasal 24 antara pemerintah
dan NNT. Persoalan yang muncul antara lain soal saham NNT yang digadaikan
kepada kreditor, kendati sebetulnya telah disetujui pemerintah Indonesia pada
1997. Karena tidak ada kesepakatan, belakangan pemerintah Indonesia secara
bersamaan dengan PT NNT membawa kasus tersebut ke ke arbitrase. Menurut anggota
Komisi VII DPR dari Fraksi PAN Alvien Lie, bila ada ketentuan pemerintah harus
membayar kewajiban kepada NNT, pemerintah dapat membeli perusahaan tersebut
dengan diangsur. “Tidak ada aturan yang harus membayarnya secara tunai.
Diangsur saja misalnya 50 tahun,” jelasnya.
Dirut PTBA Sukrisno mengatakan,
pihaknya hingga kini belum bisa berkomentar terkait usulan pemerintah
mengharuskan perusahaan membeli aset NNT. “Kami belum tahu asal usul kedudukan
NNT. Kalau pun ada gambaran soal pembelian, masih akan dibicarakan lebih lanjut
antara direksi, komisaris, dan pemegang saham,” katanya di Jakarta, akhir pekan
lalu. Senior Director, Communications and Media Relations Newmont Mining
Corporation Omar Jabara yang dihubungi melalui surat elektronik di Denver, AS tak
bersedia memberi tanggapan. Juru bicara Newmont Rubi W Purnomo kepada Investor
Daily, kemarin, mengatakan, sampai saat ini pihaknya ingin memberikan
kesempatan bagi proses penyelesaian atas perbedaan melalui arbitrase yang bebas
dari sorotan dan spekulasi di media massa. “Untuk itu, pada saat ini, kami
tidak ingin memberikan pernyataan apapun yang berhubungan dengan arbitrase dan
divestasi PT NNT,” ujarnya.Pemerintah Kalah
Secara terpisah, Direktur Centre
for Indonesian Mining and Resources Law Ryad A Chairil mengungkapkan,
pemerintah tidak mungkin memenangi gugatan arbitrase NNT. Sejak 17% saham itu ditawarkan, menurut Ryad,
pemerintah pusat maupun daerah tidak bisa menunjukkan dengan jelas pihak mana
yang akan membeli saham tersebut. “Secara finansial, pemerintah bahkan mengakui
tidak cukup uang untuk menebus 17% saham Newmont. Karena itu, gugatan arbitrase
tersebut adalah cara elegan untuk membebaskan pemerintah dari hak pertama
membeli saham dan membolehkan Newmont menawarkan pada pihak lain yang mampu membeli
saham tersebut,” katanya.
Pemerintah disarankan menunjuk
BUMN yang memiliki kemampuan secara finansial untuk mengakuisisi saham Newmont.
Ryad menambahkan, pemerintah salah fatal dan melanggar kesepakatan yang tertera
dalam KK terkait dugaan lalai (default) yang diajukan Dirjen Minerbapabum (saat
itu Simon Felix Sembiring) terkait belum tuntasnya penawaran 17% saham NNT kepada
pemda. “Menurut kesepakatan, default hanya bisa diajukan bila para pihak tidak
sedang terlibat dalam masalah. Pemerintah sudah melanggar kesepakatan
tersebut,” ujarnya.
Untuk menyelesaikan kasus ini cara
yang dapat digunakan adalah Arbitrase. Dalam arbitrase pihak-pihak
yang berselisih memilih seorang
wasit atau lebih untuk memeberikan penyelesaian. Tentunya wasit yang dipilih harus
berjumlah ganjil agar kemungkinan
kelebihan suara pada saat memutuskan, dan dalam mengambil keputusan harus
menggunakan sistem musyawarah. Wasit ini biasanya adalah para ahli dalam bidang
perniagaan atau perusahaan yang bersangkutan.
0 komentar:
Posting Komentar